Merah jingga lamanda
MERAH JINGGA LAMANDA
Mardiyah
Ini yang Lamanda rindukan,asap mengepul dari dapur. Setelah sekian lama ia belajar di kota, akhirnya Lamanda kembali ke Desa. Desa MulyaAsri, itulah namanya. Walau desa ini tak begitu asri,berbeda dengan di Yogyakarta. Tapi ada satu hal yang paling ia rindukan,Selain asap. Surat dari Raka. Sahabatnya di Panaragan,desanya dulu. Desa neneknya tinggal. Biasanya setiap ia kembali ke desa, surat itu sudah ada di kamarnya lengkap dengan tanggal pengiriman. Tapi, kali ini Lamanda harus menunggu.
24 September 2017, surat itu datang. Tepatnya dua hari setelah kepulangan Lamanda. Surat itu kali ini berbeda,warnnya merah dan jingga. Surat yang indah. Surat itu ingin bercerita tentang patung empat marga, sesuatu yang belum pernah diungkap.
Angin mulai memburu. Langit tidak terlalu cerah memang. Namun, Lamanda tetap bersiap menemui Raka. Gerimis turun perlahan membentuk motif bintik di sweater Lamanda. Ia sedikit mendongak melihat ritme rintik.
"Ah...tidak akan deras"
Lamanda mulai meramal. Ia menaiki motor bebeknya untuk menemui Raka. Motor jadul zaman SMP dulu.
"Kamu mau kemana Nda?" tanya kakak Lamanda.
"Aku akan menemui Raka,penting!" jawab Lamanda tergesa gesa.
"Hai tunggu,Raka sudah...."
"Ah sudahlah,aku terburu buru"
Lamanda memotong perkataan kakaknya. Ia bergegas menemui Raka. Gerimis menemaninya sampai setengah perjalanan.
"Ah,sial!" gerutu Lamanda melihat tanah patung empat marga yang kering.
Lamanda celingukan melihat kesana kemari, mencari Raka yang sudah ia tunggu sedari tadi. Suasana patung empat marga yang sepi membuat Lamanda sedikit takut berada di sana. Ia teringat akan begal bejat yang memukuli Bapak tua. Ia ingat sekali kejadian itu. Walau saat kejadian itu dirinya baru berumur enam tahun. Meskipun telah dibangun patung empat marga, Lamanda masih takut berada di sana sendirian.
"Hay...."
Lamanda menengok mencari suara itu. Berharap suara itu adalah Raka. Suara yang tidak ia dengar selama dua tahun terakhir.
"Sial!" gerutu Lamanda memasang muka masam.
Rupa Raka tak kunjung datang. Kini mata Lamanda tertuju pada laki-laki berpakaian lusuh,yang memanggilnya tadi. Jika dilihat dia seumuran Raka dan Lamanda. Dihampirinya laki-laki lusuh itu, yang duduk bersila di dekat patung empat marga.
"Ha...i, siapa namamu?" tanya Lamanda sembari melambaikan tangan.
"Namaku Dafa," Dafa berdiri dan mengulurkan tanganya.
"Namaku Lamanda." Ucap Lamanda sembari tersenyum.
Pandangan Dafa tertuju pada jam tangan Lamanda. Dirinya yang memperhatikan tingkah Dafa melepaskan jabat tangannya dan memasukkan tangan kanannya ke kantung celana. Ia berusaha menyembunyikan jam tangannya karena risih.
"Jam tanganmu bagus, harganya berapa?" tanya Dafa
"Ah, tidak penting!" jawab Lamanda singkat.
"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Lamanda mengalihkan pembicaraan.
"Bajumu bagus, harganya berapa?" Lamanda hanya tersenyum tipis menanggapinya.
Lamanda terdiam sejenak. Heran memperhatikan tinggah Dafa, Perkataanya,cara tatapanya,tingkahnya,semuanya berbeda.
"Kau tau, Aku sedang menunggu orang hebat." Dafa berkata sambil tersenyum.
"Siapa?"
"Kawanku, arsitek itu. Iya dia itu arsitek." Ujar Dafa yakin.
Lamanda kembali tersenyum tipis menaggapinya. Kali ini perkataan aneh itu membuatnya berpikir keras.
" Arsitek berkawan dengan lelaki lusuh? tidak mungkin."
Lamanda kembali meramal dalam batin. Ia berdiri disisi jalan dan mulai menelisik kesana kemari. Jalan itu semakin sepi, hanya terlihat dari kejauhan satu dua orang menuju kebun karet. Pandanganya tertuju pada seseorang yang berpakian kumuh. Ada luka codet di pipi kananya. Lelaki itu muncul dari kebun karet diujung jalan.
"Itu dia, dia kawanku. Sang arsitek. Lihat dia!" Dafa berdiri bersorak dengan keras. Dan menarik tangan Lamanda menghampiri lelaki kumuh itu.
"Dia arsitek. Akif, dia Akif...Akif!" Dafa terus menunjuk lelaki itu dan menarik Lamanda. Dafa melepaskan tangan Lamanda. Lamanda berbalik arah meninggalkan mereka. Berjalan perlahan memikirkan dimana Raka.
"Hai lamanda!" mereka menyusul langkah Lamanda.
Sial, ia kembali terjebak dengan kedua orang aneh. Yang kumuh dan lusuh itu.
"Lihatlah sketsaku. Aku akan membangunya di sebelah patung itu." Ujar Akif.
"Itu adalah gambar kepala ayahku. Aku akan membuat patung kepala ayahku di sana, tepat di sebelah patung itu." Sahut Dafa menunjuk patung empat marga.
Lamanda perpikir tindakan mereka adalah tindakan yang gila. Sketsa yang lebih tepatanya hanyalah coretan, akan dibangun disebelah patung empat marga dan tanpa izin itu gila.
"Kalian jangan gila" sahut Lamanda asal.
Mereka terdiam memandanginya.
"Kau yang gila" jawab mereka menunjuk Lamanda.
Lamanda tak menghiraukanya. Ia menaiki motornya. Belum ia menarik gas dan melaju, Lamanda memperhatikan perdebatan Akif dan Dafa.
"Apakah ini sudah cocok?" tanya Dafa kepada Akif sambil menunjuk tepat di sebelah patung empat marga.
"Sudah. Tapi aku akan membangunya sedikit jauh dari patung itu."
"Kau jangan gila Kif. Aku mau patung kepala ayahku dibangun tepat di sebelah patung itu"
"Kau jangan gila Daf. Itu tidak ada gunanya."
"Patung empat marga itu yang tidak ada gunanya Kif."
"Dasar orang gila, bangun saja patung itu sendiri."
"Kau yang gila. Apa kau lupa Ayahku?"
"Tentu tidak."
"Kalau tidak, bangun patungnya orang gila!" bentak Dafa.
Lamanda semakin binggung melihat perdebatan mereka yang saling mengolok 'gila'. Menurutnya tindakan mereka berdualah yang gila. Mana mungkin membangun patung disebelah patung empat marga tanpa izin. Lamanda memutar gas dan melaju meninggalkan perdebatan Akif dan Dafa. Ada satu hal yang dipikirkannya selama perjalanan.
"Mengapa Dafa ingin sekali membangun patung kepala ayahnya? memang siapa ayahnya?" pertanyaan itu menempel di pikiran Lamanda selama perjalanan. Ia memacu motornya kerumah nenek. Dia akan mencari jawaban keanehan itu pada neneknya. Meski rumah nenek dan tempat itu agak jauh. Ia berharap neneknya tahu jawabanya.
Lamanda berpikir apakah tingkah Akif dan Dafa itu wajar. Apakah itu adalah kebiasaan orang desa setelah dua tahun ia pergi. Apakah memang di desa neneknya itu perdebatan gila itu wajar. Pertanyaan-pertanyaan itu menyelubungi pikirannya. Lamanda melihat neneknya berada di halaman rumah. Dengan cepat ia menghampiri neneknya.
"Nek..." Lamanda turun dari motor, menyalaminya.
"Nenek tahu Akif dan Dafa?"
"Iya,mereka cucu asih."
"Apakah nenek tahu mereka bertindak gila?"
"Hustt...jangan bicara begitu. Kamu bertemu mereka dimana?"
Lamanda menceritakan semuanya. Dari awal sampai perdebatan antara Akif dan Dafa. Selesai bercerita, kekhawatiran mulai tampak dari wajah neneknya.
"Cepat kamu susul mereka nak, sebelum mereka melukai seseorang." Perintah nenek memburu.
"Cepat lamanda!"
Lamanda pergi dengan heran. Kenapa neneknya khawatir dengan mereka berdua. Kini kebingunggan menumpuk dipikiran Lamanda. Ia memacu motor cepat. Saat sampai di patung empat marga Lamanda tak lagi melihat Akif dan Dafa. Kemana mereka?. Ia semakin binggung. Matanya kembali menelisik ke segala penjuru.
"Lamanda!"
Lamanda mendengar suara yang tak asing ia dengar. Ia menoleh, dan ternyata Raka.
"Hai Raka." Sahut Lamanda cepat.
"Maaf aku belum menjelaskan isi surat merah jingga itu. Aku harus mencari Kakak ku."
"Lupakan saja," jawab Lamanda singkat.
"kau tau Akif dan Dafa,ka?" tanya Lamanda,berharap Raka tahu sesuatu tentang mereka.
Raka menceritakan semuanya. Ternyata Akif dan Dafa adalah kakak yang dicari Raka sedari tadi. Mereka mengalami depresi berat setelah kejadian itu. Ya, kejadian dimana Ayah Raka dan Dafa meninggal dibunuh oleh begal bejat. Akif yang saat itu bersama Ayah Raka juga mengalami hal yang sama dengan Dafa. Mereka dipukuli. Meski mereka selamat,depresi berat harus mereka hadapi selama dua tahun terakhir.
Lamanda sedikit terkejut saat Raka bercerita bahwa begal itu mengorok kepala ayahnya. Pantas saja, Dafa ingin membangun patung kepala ayahnya. Dan menganggap patung empat marga tak ada gunanya. Karena keburukan telah menimpanya sebelum patung itu ada.
"Lalu sekarang mereka dimana?" tanya Lamanda.
"Mereka baru saja dibawa ke RSJ satu jiwa."
Mereka dibawa ke RSJ satu jiwa untuk masa pemulihan. Kekhawatiran Nenek Lamanda benar. Mereka telah melukai seseorang di kebun karet. Mereka meluapkan amarah kepada orang itu, yang dianggap begal, pembunuh ayah Dafa dan Raka. Depresi berat selama dua tahun terakhir membuat mereka mengalami gangguan jiwa.
Komentar
Posting Komentar